Wednesday, April 20, 2011

Catatan Anak Rantau : Episode Makanan (Part 1)

Langit malam di luar semakin pekat menghitam.
Pertanda tengah malam pun akan segera datang.
Walau begitu kedua mata ini tidak boleh kupejamkan.
Kenapa?
Tumpukan buku teks, catatan kuliah, data-data eksperimen
yang bersisian dengan kotak elektronik canggih milikku
adalah jawaban untuk pertanyaan di atas.




Ya, belakangan ini banyak hal yang menyibukkan diriku
dan itu semua berhubungan dengan peranku sebagai mahasiswa.
Disibukkan dengan tugas makalah, laporan lab eksperimen, presentasi,
dan tentunya yang tidak mau ketinggalan adalah ujian.

Maka dari itu kuputuskan untuk terjaga sampai larut malam
demi menyelesaikan semua tanggungan itu.
Kucoba membuka jendela kamar sekadar ingin mendapat angin segar.
Yah, mungkin saja bisa mengusir rasa kantukku
yang telah memasuki level "awas" untuk meletus.
Ternyata sia-sia, bahkan memperburuk keadaan.
Daya kekuatan mataku pun mengalami penurunan drastis yang signifikan
dari "lima watt" hingga kini "0.5 watt" tersisa.

Otak berputar mencari solusi permasalahan.
Lirik kanan lirik kiri. Celingak-celinguk atas bawah.
Senam kepala dan badan sejenak.
Dan akhirnya pandangan terfokus pada laci kecil di meja belajar.
Itu adalah tempat rahasiaku menyimpan harta karun
yang berupa makanan cemilan yang kubawa dari tanah air tercinta.
Maklum sebagai anak perantauan di negeri orang
yang notabene-nya memiliki keuangan pas-pasan,
jajan sembarangan seenak udelnya adalah mubah hukumnya.
Boleh dilakukan, tapi sangat disarankan untuk tidak dilakukan.
Kenapa?
Selain karena jenis cemilan yang dijual berbeda dari yang dijual di kampung halaman,
juga diikuti dengan harga jual cemilan itu yang lebih mahal tiga kali lipat dari harga modal.

Dengan jantung berdegup kencang, perlahan kuintip isi laci itu.
Jreng, seketika tubuhku membeku. =(
Pupus sudah harapanku untuk menciptakan sebuah teori baru
yang mungkin nantinya bisa dipatenkan mengalahkan teori relativitas-Einstein.
Ya, teori yang ingin kuusulkan adalah
"Mengemil dapat mengurangi rasa kantuk yang didera."
Aku menghela napas panjang.
Sedih, kesal, gembira, nano-nano rasa hatiku ini.
Gembira sebab masih ada cemilan tersisa untuk kusantap malam ini.
Sedih karena itu adalah cemilan terakhir yang kupunya.
Itu artinya sampai liburan tiba, tidak ada lagi cemilan warisan negeri tercinta
tanah airku, Indonesia.

Pada akhirnya kuputuskan untuk menyikat habisan cemilan yang tersisa itu.
Dalam hitungan detik, kini tinggal tersisa kemasannya saja.
Setelah itu, aku kembali belajar dan mengerjakan tugas
yang hampir jatuh tempo untuk dikumpulkan.
Setidaknya sepotong krispi coklat yang kuyakin hanya dijual di Indonesia itu
sedikit menaikkan energiku, sebagaimana kandungan yang ada di dalamnya
yaitu theobromine yang dapat menstimulus jaringan saraf fan jantung
yang dapat membuat tubuh tetap terjaga dan bersemangat.

Tulisan ini dibuat di kala stress tengah melanda akibat efek samping berkutat dengan pelajaran terlalu lama. Sebenarnya yang ingin aku sampaikan adalah betapa sangat rindu diri ini akan makanan Indonesia yang cukup sulit untuk ditemukan di negara lain, negeri jiran (negara tetangga) sekali pun. Dan aku pun tersadar kalau Indonesia itu selain kaya akan sumber daya alam, tempat wisata alam yang indah, juga terkenal dengan makanannya yang unik tiada duanya bahkan cemilan pun. Bahkan ada cerita unik ketika teman satu kampusku berkunjung ke Indonesia. Saat itu kami hendak makan siang bersama di sebuah kompleks perkantoran elite di bilangan Sudirman, Jakarta. Aku dan teman-teman bahkan pelayannya juga terkejut ketika dia memesan sop buntut. Ternyata, si teman yang berasal dari negeri padang pasir ini telah jatuh cinta dengan rasa sop buntut sejak pertama kali mencobanya.

Anyway, setidaknya ada sepotong hikmah yang bisa kita ambil dari tulisan ini yaitu sejauh apa pun kita merantau ke negeri orang, senikmat apa pun makanan negeri itu, tetap saja rasa makanan khas negeri sendiri telah terpatri dengan kuat di lidah kita dan tidak akan mudah kita lupakan begitu saja.

"Lestarikan kuliner nusantara, majukan citra Indonesia."





0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More