Tuesday, August 7, 2012

Jika Hatiku Bercakap

Aku ingin menangis.
Menangis tapi tidak meratap.
Namun menangis sejadi-jadinya.
Mengapa? Apa yang terjadi? Orang pun bertanya-tanya.

Lagi, aku ingin menangis.
Menangis menumpahkan seluruh air mata
yang selama ini mengantri di sudut kelopak mata
untuk berjatuhan serta mengalir hingga pada akhirnya
menyentuh permukaan tanah.
Kemudian berlanjut dengan gejala kapilaritas
menuju bagian dalam bumi.

Kembali pertanyaan terlontar.
Mengapa? Untuk apa tangis itu?
Tentu tak ingin menangisi hal percuma.

Ya, biar kujawab.
Jawaban yang mungkin tak memuaskan,
tapi setidaknya cukup untuk menghapus rasa ingin tahu.

Aku menangis karena tidak dapat menangis.
Tidak mampu menangis ketika lalai beribadah.
Tidak juga menangis saat bermaksiat.
Bahkan setitik air mata pun tidak terbit
bilamana cahaya Sang Rabb perlahan meredup.

Mungkin kau berpikir mengapa harus tangis?
Tidak adakah aksi lain yang lebih tepat?
Maka tidak jawabku.
Sengaja itu kupilih
karena sesungguhnya setelah tangis akan ada senyum.
Senyum yang akan berujung pada kebahagiaan.
Juga kuyakin tangisan ini dapat meluluhkan,
mencairkan sebongkah hati yang telah membeku.
Lalu menyalakan kembali sinar petunjuk yang hampir saja padam.
Mendekatkan jiwa kepada pemilik jagat raya ini.
Menangis seolah menjadi bayi yang baru lahir, bersih dari dosa.
Oleh karena itu aku ingin menangis.

-kira-

Di kesunyian malam, menjelang sahur
01.07 JST Hitachi-shi
19 Ramadhan 1433 H
Ilustrasi

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More